Oleh : Firmansyah
Jambi – Pemerintah Provinsi Jambi diketahui telah memberikan hibah dua aset strategis daerah dengan total nilai mencapai puluhan miliar rupiah.
Aset pertama berupa tanah dan bangunan eks-STIE Ikabama di kawasan Simpang Kawat, dengan luas 16.980 meter persegi dan nilai perolehan Rp12,7 miliar.
Aset ini dihibahkan untuk mendukung pembangunan Sentra Pendidikan dan Pelatihan, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH), dan Klinik Adhyaksa.
Tidak hanya itu, pemerintah daerah juga memberikan tambahan hibah berupa anggaran pembangunan senilai Rp5 miliar.
Aset kedua berupa lahan seluas 28.700 meter persegi dengan nilai tanah sebesar Rp8,9 miliar dan tambahan nilai infrastruktur seperti pagar dan turap sebesar Rp4 miliar.
Hibah ini diperuntukkan bagi pembangunan rumah sakit rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika, sebuah program yang penting dan sangat dibutuhkan di tengah meningkatnya ancaman narkoba terhadap generasi muda.
Dibalik itikad baik Pemerintah Jambi untuk mendukung sektor pendidikan hukum dan layanan kesehatan rehabilitatif, terdapat prinsip-prinsip hukum administrasi negara yang tidak boleh diabaikan.
Hibah bukanlah sekadar bentuk kebaikan birokrasi, melainkan proses pemindahtanganan aset milik negara yang harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, terutama terkait akuntabilitas, transparansi, dan persetujuan politik.
Sejumlah regulasi telah mengatur dengan jelas tentang mekanisme hibah, di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14 Tahun 2024 tentang tata cara penyaluran hibah.
Dalam regulasi-regulasi tersebut ditegaskan bahwa setiap pemindahtanganan aset, termasuk melalui hibah, harus dilakukan secara selektif dan tidak mengikat, berdasarkan kemampuan keuangan daerah dan urgensinya bagi kepentingan masyarakat.
Yang paling krusial, apabila nilai aset yang dihibahkan mencapai atau melebihi Rp5 miliar, maka wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPRD. Persetujuan tersebut bukan sekadar formalitas, atau bentuk legitimasi politik namun bentuk kepatuhan terhadap peraturan hukum atas kebijakan penggunaan barang milik daerah.
Dalam konteks ini, DPRD berfungsi sebagai penjaga agar aset milik publik tidak diberikan sembarangan atau tanpa dasar pertimbangan yang kuat dan terbuka.
Langkah hibah harus melewati prosedur administratif yang ketat, mulai dari permohonan pihak penerima, verifikasi aset secara administratif dan fisik oleh pemda, hingga penyusunan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang memuat hak, kewajiban, dan tujuan hibah, ini untuk mengindari hibah yang hanya menguntungkan kepentingan pribadi atau golangan tertentu yang berdampak merugikan keuangan negara.
Pelaksanaan hibah yang tidak mengikuti prosedur ini berpotensi menimbulkan celah hukum, serta membuka ruang bagi penyimpangan atau gugatan di kemudian hari.
Sebagai praktisi hukum, saya mendukung penuh program-program sosial dan kemasyarakatan seperti pengembangan pendidikan hukum dan rehabilitasi narkoba.
Namun tetap harus diingat bahwa tujuan baik harus ditempuh dengan cara yang benar pula.
Jangan sampai langkah-langkah besar pemerintah daerah menjadi cacat hukum hanya karena melewatkan satu tahapan krusial, yakni persetujuan DPRD.
Proses hibah aset pemerintah bukan urusan teknis belaka, melainkan bagian dari akuntabilitas kebijakan publik. Ketika aturan tidak ditaati, sebesar dan semulia apa pun tujuannya, tetap akan menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Maka, dalam iklim demokrasi dan transparansi hari ini, keterlibatan DPRD dalam memberikan persetujuan atas hibah aset adalah bukan hanya syarat administratif, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap prinsip check and balance dalam tata kelola pemerintahan serta pihak Legislatif juga wajib menjalankan tugas dan fungsi kontrolnya.
(Rdk/Sl/ Sumber: Firmansyah Lawyer)