Jambi – Pemerintah Kota Jambi di bawah kepemimpinan Wali Kota Maulana tengah gencar menerapkan sistem pembayaran parkir non tunai berbasis Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Inisiatif ini digadang-gadang sebagai langkah menuju integrasi pelayanan publik berbasis teknologi dan sebagai bagian dari visi “Kota Jambi Bahagia” serta program Smart City.
Namun, kebijakan ini menuai kritik tajam dari kalangan praktisi hukum. Firmansyah, SH, MH, seorang praktisi hukum sekaligus pengamat kebijakan publik, menyatakan bahwa kebijakan tersebut berpotensi cacat hukum jika tidak dilandasi dengan peraturan yang memadai.
> “Sampai saat ini belum ada Peraturan Daerah maupun Peraturan Wali Kota yang secara spesifik mengatur sistem parkir non tunai berbasis QRIS. Perda Nomor 3 Tahun 2010 dan Perwali Nomor 32 Tahun 2018 belum menyentuh aspek ini secara eksplisit, baik soal tarif, sistem pengelolaan, mekanisme pengawasan, hingga sanksi bagi pelanggar,” tegas Firmansyah, Jumat (27/6/2025).
Ia juga menilai penggunaan QRIS untuk sistem parkir kurang tepat jika tujuan utama pemerintah adalah menutup potensi kebocoran pendapatan daerah.
“Jika ingin mengurangi kebocoran, mestinya pakai kartu non tunai seperti e-money, Flazz, Brizzi atau sejenisnya yang multifungsi. Di kota besar sistem seperti ini sudah lama diterapkan. Bahkan kartu ini bisa untuk bayar tol, bus, hingga kereta. Kota Jambi punya bus kota, itu bisa jadi satu ekosistem pembayaran yang seragam,” ujarnya.
Selain menyoroti aspek regulasi dan efektivitas sistem, Firmansyah juga mengungkapkan adanya indikasi pelanggaran serius oleh pihak swasta terkait retribusi parkir.
“Ada hotel dan restoran yang menggunakan lahan milik pemerintah untuk parkir tanpa izin dan tidak menyetorkan kontribusi ke kas daerah. Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi, ini perbuatan pidana,” katanya lantang.
Ia meminta Wali Kota Maulana untuk tidak gegabah dalam menerapkan kebijakan berbasis digital tanpa kajian mendalam. Menurutnya, sistem pemerintahan tidak bisa diperlakukan sama dengan sistem bisnis swasta.
“Pemkot harus duduk bersama DPRD dan stakeholder terkait untuk membentuk regulasi yang jelas terlebih dahulu. Tanpa dasar hukum yang kuat, ini berpotensi menjadi kebijakan yang inkonstitusional dan kontraproduktif,” pungkasnya.
Respons Warga Beragam
Wacana parkir non tunai ini menuai beragam tanggapan dari masyarakat. Ismet, warga Kelurahan Simpang Rimbo,Kecamatan Alam Barajo, mengaku keberatan jika parkir hanya bisa dibayar secara non tunai.
“Jujur saja, saya kurang setuju. Tidak semua orang punya QRIS atau dompet digital. Harusnya tetap ada opsi pembayaran tunai agar semua kalangan bisa terlayani,” katanya.
Namun berbeda dengan Arif, warga Kelurahan Eka Jaya. Ia mendukung kebijakan tersebut asalkan pelaksanaannya ditata dengan baik.
“Menurut saya bagus, lebih cepat dan praktis. Tapi ya harus dipastikan semua alat berfungsi, dan ada petugas yang bisa bantu warga kalau bingung,” ucapnya.
Hingga saat ini, Pemerintah Kota Jambi belum mengumumkan secara resmi apakah kebijakan ini akan didahului dengan perubahan atau penerbitan regulasi baru sebagai dasar hukum implementasi sistem parkir non tunai.
(Redaksi)