Proyek Tanpa Manfaat dapat menjadi objek Tipikor

Oleh: Firmansyah

 

Jambi – Dalam beberapa tahun terakhir, tren pembangunan di berbagai daerah menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan. Pemerintah daerah (Pemda) tampak begitu ambisius dalam menggagas proyek-proyek pembangunan, bahkan tidak sedikit yang mencanangkan “mega proyek” dengan anggaran besar. Sayangnya, semangat pembangunan ini acapkali tidak sebanding dengan hasil yang dicapai. Tidak sedikit proyek yang dibangun terbengkalai, tidak berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan sejak awal sudah dipertanyakan urgensinya.

Fenomena ini mengarah pada satu persoalan mendasar: apakah proyek-proyek tersebut benar-benar lahir dari kebutuhan rakyat, atau justru menjadi alat politik dan ekonomi bagi segelintir elit yang punya kuasa atas anggaran?

Sebuah proyek pembangunan yang tidak memberikan manfaat kepada masyarakat dan tidak selaras dengan perencanaan yang matang, pada akhirnya berisiko menimbulkan kerugian bagi keuangan negara. Di sinilah letak bahaya terbesarnya. Sebab dalam perspektif hukum, setiap pengeluaran negara yang tidak berdampak positif, bahkan menimbulkan kerugian, berpotensi menjadi objek tindak pidana korupsi (Tipikor).

Hal ini telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu rumusan tindak pidana dalam UU tersebut adalah penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian negara. Artinya, bukan hanya soal mengambil uang negara untuk kepentingan pribadi yang dapat dikategorikan sebagai korupsi, tapi juga kelalaian atau penyalahgunaan dalam bentuk kebijakan dan proyek yang tidak memberikan manfaat sebagaimana mestinya.

Syarat-syarat terpenuhinya tindak pidana korupsi dalam konteks proyek pembangunan, antara lain: adanya perbuatan melawan hukum, adanya unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, serta timbulnya kerugian keuangan negara yang nyata dan terukur. Dalam praktiknya, kerugian negara ini dapat dibuktikan melalui hasil audit resmi dari lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau auditor independen yang berwenang.

Salah satu contoh proyek yang patut dicermati adalah pembangunan gedung terminal di kawasan Rawasari, Kota Jambi. Proyek ini dibangun dalam kondisi transportasi angkutan umum, khususnya angkot, nyaris mati suri di kota tersebut. Sejak awal, masyarakat sudah mempertanyakan urgensi proyek tersebut. Kini, setelah selesai dibangun, gedung terminal itu justru tidak digunakan. Kosong. Sepi. Tak berfungsi. Alih-alih menjadi simpul transportasi baru, bangunan itu malah menjadi monumen pemborosan anggaran.

Jika proyek tersebut dibangun tanpa dasar kajian yang kuat dan tidak menyasar kebutuhan riil masyarakat, maka potensi kerugiannya tidak hanya bersifat materil tetapi juga sosial. Anggaran yang digunakan berasal dari uang rakyat, yang seharusnya bisa dialihkan untuk pembangunan sarana dan prasarana publik lain yang lebih mendesak, seperti perbaikan layanan kesehatan, pendidikan, sanitasi, atau fasilitas publik lainnya yang benar-benar dibutuhkan.

Pertanyaannya: apakah proyek semacam ini dapat menjadi objek tindak pidana korupsi? Jawabannya: bisa, jika memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum. Oleh karena itu, sudah saatnya aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lebih serius menyoroti proyek-proyek pembangunan di daerah. Audit menyeluruh terhadap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan output proyek harus dilakukan secara berkala dan transparan.

Lebih dari itu, masyarakat juga berhak untuk mengawasi penggunaan anggaran di daerah. Demokrasi tidak cukup dijalankan lewat pemilu lima tahunan. Partisipasi warga dalam mengontrol anggaran dan pembangunan justru jauh lebih penting dalam kehidupan sehari-hari. Transparansi informasi publik harus dijamin, dan akses masyarakat terhadap dokumen perencanaan serta realisasi proyek pembangunan harus dibuka seluas-luasnya.

Pemerintahan baru di berbagai daerah, termasuk pusat, sebaiknya mengubah paradigma pembangunan. Sudahi orientasi pembangunan yang hanya mengejar proyek fisik untuk pencitraan. Pembangunan mental, integritas birokrasi, dan akhlak penyelenggara negara harus menjadi prioritas. Sebab tanpa itu, proyek apa pun hanya akan menjadi pemborosan, atau lebih buruk lagi, menjadi kendaraan korupsi berjubah pembangunan.

Kesimpulannya, proyek yang dibangun tanpa urgensi dan tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat berpotensi menjadi objek Tipikor. Oleh karena itu, proyek semacam ini harus diaudit secara serius dan terbuka. Pemerintah daerah harus menyadari bahwa setiap rupiah yang mereka belanjakan berasal dari rakyat, dan rakyat berhak menuntut pertanggungjawaban jika uang itu digunakan secara tidak bijak.

(Redaksi-Sf)

Related posts