Oleh: Firmansyah,SH.,MH
Jakarta – Pengelolaan parkir oleh pihak swasta di kawasan Pasar Angso Duo, Jambi, kembali menjadi sorotan.
Indikasi penyimpangan dalam penyetoran dana parkir memunculkan dugaan kuat telah terjadi tindak pidana korupsi. Pasalnya, dana parkir yang dipungut dari masyarakat merupakan bagian dari penerimaan daerah yang wajib disetorkan ke kas negara.
Perlu dipahami bahwa retribusi parkir merupakan pungutan atas jasa parkir yang disediakan oleh pemerintah daerah, baik untuk kendaraan roda dua maupun roda empat.
Pungutan ini biasanya dibayar langsung oleh pengguna jasa kepada petugas juru parkir, dengan tarif yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah (Perda).
Dalam pelaksanaannya, pemerintah daerah dapat menunjuk pihak ketiga atau swasta untuk mengelola layanan parkir. Namun, kerja sama ini tidak menghapus kewajiban pungutan wajib disetorkan ke kas daerah dalam bentuk pajak parkir.
Ketika pihak swasta yang ditunjuk tidak menyetorkan dana tersebut, maka bukan hanya melanggar Perda, tetapi juga berpotensi melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Penyimpangan ini bukan semata penggelapan biasa, melainkan dapat dikategorikan sebagai korupsi karena berkaitan dengan keuangan negara atau daerah.
Pelanggaran seperti ini bisa berujung pada sanksi pidana berdasarkan UU Tipikor, selain sanksi administratif seperti pencabutan izin usaha atau pengenaan denda.
Maka dari itu, penyelewengan dana parkir oleh pengelola swasta tidak bisa dianggap sepele.
Namun yang menarik, dalam kasus Pasar Angso Duo, perkara ini akan dihentikan oleh kejaksaan setelah pihak pengelola mengembalikan dana parkir yang menjadi kerugian negara.
Karena Langkah ini diambil saat proses masih berada dalam tahap penyelidikan.
Pengembalian kerugian negara memang diakui sebagai salah satu alasan yang dapat dipertimbangkan untuk menghentikan penyelidikan atau bahkan penyidikan.
Hal ini sesuai dengan asas efisiensi penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi ringan.
Namun, pertanyaannya, apakah pihak pengelola telah melakukan pengembalian seluruh kerugian tersebut, apakah pengembalian kerugian negara cukup untuk menghapus unsur pidana?.
Dalam praktik hukum, jaksa memiliki diskresi untuk menilai apakah suatu perkara layak dilanjutkan atau dihentikan. Pengembalian kerugian memang dapat meringankan, namun bukan serta-merta menghapus unsur tindak pidana.
Dalam konteks ini, publik patut mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas dalam penghentian perkara.
Jika setiap pelanggaran hukum bisa selesai hanya dengan “membayar kembali” uang negara, maka akan ada ruang kompromi terhadap semangat pemberantasan korupsi.
Penegakan hukum bukan semata soal kerugian materiil, tetapi juga efek jera dan pemulihan kepercayaan publik terhadap tata kelola keuangan negara.
Jakarta, 11 Juni 2025
Firmansyah Lawyer
(Redaksi)